Latest Updates

VIDEO GAME



VIDEO GAME
oleh HB

            Allahu Akbar…. Allahu Akbar…..
            “Nami sayang, sudah Maghrib tuh. Ayo berhenti mainnya. Kita ke masjid yuk, shalat berjamaah.” kata bunda Nami
            Nami yang sedang asyik bermain video game kesukaannya menolak.
            “Nami shalatnya nanti saja Bun. Tanggung nih Paopao lagi di mandiin biar cantik.” Jawab Alqa tanpa menghiraukan ajakan bundanya. Paopao adalah nama dari peliharaan di dalam video gamenya.
            “Emm… Anak bunda kayaknya tidak mau ya disayang Allah?”
            “Yaa bunda… tapi kan tanggung.” Jawab Nami sambil merengut.
             “Ya sudahlah. Nami tidak mau di sayang Allah. Bunda saja deh yang di sayang Allah.” Jawab bunda yang kemudian pergi meninggalkan Nami.
            Belum sampai keluar dari pintu rumah. Nami pun berteriak.
            “Bunda… Tunggu Nami!”
            Bunda tersenyum. Bunda tahu bahwa Nami tidak akan mau tertinggal. Nami pun bergegas mengambil sarung dan peci dari kamarnya dan lari mengejar sang bunda.
            “Yuk, Bun. Kita ke masjid.”
            Sambil berjalan menuju masjid. Bunda bertanya kepada Nami.
            “Tadi Bunda ajak, katanya tanggung. Kok sekarang malah ingin buru-buru?”
            ”Nami cuma tidak ingin tidak disayang Allah. Kan bunda sama ayah sering bilang sama Nami. Kalau mau disayang Allah, kita harus mengikuti perintah Allah dan meninggalkan yang Allah tidak suka. Biar nanti di surga, Nami bisa bertemu dengan ayah dan bunda. Nami kan sayang banget sama ayah dan bunda.” jelas Nami panjang lebar membuat bunda tersenyum sendiri melihat tingkah putrinya.
            “Pintar sekali anak bunda. Memang harus seperti itu. Kalau menuruti mainan video game, tidak akan ada habisnya. Semua yang dimainkan di dalam video game itu memang mengasyikan, padahal tidak semua yang mengasyikan itu baik untuk kita. Malah sia-sia nanti waktu yang kita punya jika sepanjang waktu hanya bermain video game.”
            “Oh, makanya bunda sama ayah selalu membatasi Nami untuk bermain video game ya?
            “Benar sayang. Karena bunda sama ayah tidak ingin Nami terus menerus bermain video game. bunda dan ayah ingin Nami bisa baca buku, melakukan hal-hal yang Nami suka. Tidak hanya terpaku saja di depan video game. Nami harus bergerak.”
            “Harus bergerak? Kan jempol Nami sudah bergerak Bun?” Tanya Nami heran.
            “Iya. Kalau hanya duduk di depan video, yang dimainkan saja kan cuma jempol Nami yang bergerak. Nanti anggota tubuh Nami yang lain iri ngga di gerakan. Sedangkan anggota yang lainnya harus bergerak, melakukan sesuatu yang bermanfaat. Membaca Al Qur’an, misalnya.”
            “Berarti video game itu ada baiknya dan ada buruknya ya, Bun?” tanya Nami polos.
            “Iya. Makanya kita harus pintar memilih video game yang baik. Menambah wawasan dan iman bukan justru membuatnya kita lalai kepada Allah. Lalu, usahakan untuk bisa jadi yang di ikuti bukan hanya mengikuti. Dan juga bermain video game itu ada waktunya sendiri Nami”
            “Nami paham, Bun. Kita wudhu dulu, Bun.”
            Usai berwudhu, mereka langsung masuk ke dalam masjid dan menempati shaf pertama.
            “Nami mau ke mana?” tanya bunda saat melihat Nami langsung berdiri setelah selesai shalat tanpa berdo’a.
            Nami langsung menengok.
            “Nami mau pulang Bun. Mau kasih makan Paopao. Kan udah di tinggal lama sama Nami. Pasti Paopao udah kelaperan nunggu Nami Bun” Jawab Nami.
            Bunda menghampiri Nami sambil berkata.
            “Loh? Baru tadi bunda bilang. Jangan sampai video game membuat kita lalai kepada Allah. Kok malah sekarang Nami jadi ketergantungan?”
            “Tapi kan Bun, shalatnya sudah selesai.” Nami membela diri.
            “Iya benar. Tapi Nami selesai shalat langsung bangun tanpa berdoa dahulu, tanpa pamit juga sama bunda. Apa Nami tadi shalat sambil memikirkan Paopao?” selidik Bunda.
            Nami tersenyum mendengar penuturan bundanya, seakan tahu apa yang dipikirkannya tadi.
            “Ya sudah. Sekarang duduk lagi sini. Jangan lupa berdo’a.”
            “Iya, Bun.”
***

            Di perjalanan pulang.
            “Bun, Nami pernah dengar kalau video game itu bisa jadi Tuhan ke dua.” Tanya Nami.
            “Kamu tahu dari mana?”
            “Nami pernah dengar secara tidak sengaja dari obrolan kakak-kakak di masjid beberapa waktu yang lalu, Bun.”
            “Oh, gitu.” Bunda manggut-manggut.
            “Memang bisa dibilang seperti itu.”
            “Maksudnya, Bun?”
            “Begini, sayang. Seperti yang tadi Bunda bilang. Bahwa semua yang ada di video game itu mengasyikan. Dan ada banyak cara untuk memainkannya mudah di akses pula. Hampir semua orang suka video game. Sayangnya, tidak semua orang bisa memilih mana waktu yang baik atau buruk. Contohnya, ketika ada adzan. Bukan masalah tidak boleh bermain video game. Menjadi masalah jika waktu bermainnya itu melanggar ketentuan Allah. Seharusnya kita menghentikan aktifitas dan mendengarkan adzan. Namun, seringkali kita melalaikannya. Karena kita cenderung mengikuti apa yang kita inginkan padahal belum tentu benar.”
            Nami menyimak penjelasan bundanya dengan serius.
            “Gimana, sudah paham belum Nami?”
            “Sudah Bun. Terima kasih ya Bun.”
            “Iya.”
            Sesampainya Nami dan Bunda di rumah. Nami langsung mengambil buku miliknya dan membacanya dengan antusias.

It’s Me



Maria terlahir dari keluarga berada.Ia merupakan generasi pertama dan terakhir dari ayah dan ibunya. Ketidakmauannya untuk bergaul dengan teman-teman sebayanya untuk sekedar jalan-jalan dan memanfaatkan waktu luang, membuatnya harus menghabiskan waktunya dirumah, entah kesibukan apa yang ia lakukan dengan sendirinya.
Ia anak pendiam, bukan hanya saat berkumpul dengan teman-temannya, tetapi juga dirumah. Pada suatu kesempatan, ayah Maria menanyakan suatu hal pada Maria,
“Maria, ayah ingin bertanya satu hal padamu, jawab dengan jujur, dengan kata hatimu”.

“Apa itu Yah?”, dengan wajah keheranan ia menatap Ayahnya yang tiba-tiba duduk disampingnya saat Maria membaca sebuah novel.
“Ayah tahu, kini kamu sudah remaja, sudah mulai ada kebebasan dalam segala hal, Ayah tahu itu. Tapi Ayah hanya ingin mengingatkan satu hal padamu. Ayah hanya ingin kamu focus atas apa yang menjadi tugasmu sekarang. Kamu seorang pelajar, belum saatnya kamu terlalu mengexplore perasaanmu pada lawan jenismu.” Jawab Ayah dengan memberikan senyum tulusnya.
“Baik Yah, aku tahu itu” Jawab Maria yang sejak tadi memperhatikan kata-kata ayahnya.
“Bukannya Ayah sedang melarangmu untuk bergaul dengan lawan jenismu, tapi ayah hanya mengingatkanmu untuk sekedar memberi batasan dalam pergaulanmu, tapi bukan juga untuk melarangmu bergaul dengan lawan jenismu”.Lanjut Ayah.
“Aku mengerti Yah, akan ku lakukan itu, aku akan tetap menjadi alasan kebahagiaan Ayah dan Ibu”. Jawab Maria menenangkan Ayahnya.
“Bagus kalau begitu, Ayah akan mengawasimu dari berbagai sisi. Tapi itu bukan menjadi bukti bahwa Ayah mengekangmu. Ayah tinggal dulu ya”.
“Iya Yah”.
Maria melanjutkan keterampilannya mengikuti setiap baris di setiap lembar halaman novelnya.Selang beberapa waktu Ibu pun menghampirinya.
 
Ibu sudah mendengar apa yang tadi Ayah bicarakan. Ibu sangat mendukung petuah Ayah, kasihan Ayah yang setiap waktunya selalu berharap yang terbaik untukmu. Kamulah satu-satunya harapan kami Ri, hanya kamu. Ayah selalu berjuang keras untuk memenuhi apa yang kita butuhkan, meski itu hanya sekedar cukup. Jadi Ibu harap kamu tidak mengecewakan harapan Ayah tadi padamu.” Kata Ibu menasehati.

Maria mengangguk tanda mengerti “Iya Bu, aku sadar akan hal itu, ingatkan aku Bu, bila suatu saat nanti aku menyimpang atas apa yang telah Ayah dan Ibu nasehatkan”.
“Ibu dan Ayah akan selalu mengawasi di setiap perkembanganmu, bukan hanya untuk memastikan kamu tetap baik, tapi juga supaya kamu mendapatkan yang terbaik dalam segala hal”.
“terima kasih atas segala kesetiaan Ayah dan Ibu dalam setiap buaian kasih sayang kalian, yang selalu membuatku mengerti setiap keadaan”. Kata Maria mengungkapkan perasaannya.
“Memang begitulah tugas orang tua, tapi masih banyak hal lain yang tersirat atas apa yang di lakukan orang tua untuk anak-anaknya”.
Ibu pun beranjak meninggalkan Maria yang selalu asyik dengan kesendiriannya.
            Maria pun beranjak ke kamarnya. Menyadari apa yang telah diucapkan oleh Ayah dan Ibunya. “Ayah dan Ibu memang benar, belum tepat waktunya ,

untuk mengedepankan perasaan yang mungkin nantinya akan membuatku terjatuh. Tidak akan ada yang lebih sakit ketika aku sakit kecuali Ayah dan Ibuku yang membimbingku bukan hanya untuk sekedar menjalani hidup dengan segala yang ada, tetapi juga untuk belajar menjadi orang yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain”. Katanya dalam  hati.
            Hari pun berganti dengan cepatnya, hari aktif sekolah pun telah tiba.Saat Maria di sekolah serta-merta dia bertemu dengan temannya yang memang benar-benar telah mengerti dunia percintaan.Hidupnya penuh dengan kisah-kasih dengan pacarnya.
“Maria, belum juga kamu pacaran?, mau sampai kapan?, nunggu apaan?” sapa Ina di pagi yang begitu cerah.
“kamu ini kenapa, pagi-pagi sudah tanya hal-hal konyol. Apa tidak ada pembahasan yang lain Na.Aku rasa untuk saat ini aku belum membutuhkan hal-hal seperti itu, aku ingin focus dulu sama sekolahku, tapi itu bukan berarti aku mengabaikan laki-laki, bukan?.Aku ingin menjaga hatiku dari rasa yang mungkin akan membuatku terlena akan ilusi”.Lekas Maria menuju ke tempat duduknya.Ia berpikir sejenak.
“Aku memang berteman dengan Ina, tapi meskipun aku dan dia sering bersama itu bukan berarti harus sama. Aku ingin berbeda dari mereka, berbeda menyikapi setiap keadaan dengan sebagaimana mestinya”.Katanya dalam  hati
Hari demi hari pun berlalu, ada kalanya Maria juga memiliki perasaan yang hampir sama dengan teman sebayanya. Suatu ketika ia bertemu teman masa kecilnya, Rano. Di kantin sekolah ia ngobrol dengan Rano, untuk sekedar bernostalgia.
“Maria, aku ingin mengungkapkan suatu hal padamu, ini hanya sekedar pelega hatiku agar aku tenang saat jauh ataupun dekat denganmu”.Kata Rano meyakinkan.
“Tentang apa itu Ran?” Tanya Maria memasang wajah keheranan.
“Tentang perasaanku yang sejak dulu sebenarnya aku menyimpan rasa padamu.Bukan maksudku untuk memintamu menjadi kekasihku, karena ku tahu pasti jawabmu, tidak mau. Bukankah begitu Ri. Aku sudah cukup lega dengan perasaanku.Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku peduli padamu, peduli atas apapun yang kamu lakukan.Yang ku inginkan bukan sebuah jalinan kasih di antara kita, namun aku hanya ingin tahu bagaimana dengan perasaanmu terhadapku”.
Dengan gugup Maria tersenyum dan menjawab, “Terima kasih Ran atas keberanianmu mengungkapkan isi hatimu, bukannya aku tidak mau merajut kasih denganmu Ran, tapi aku rasa belum saatnya untuk hal itu. Masih banyak hal yang ingin ku lakukan dengan kesendirianku.Sama sekali tak ada maksud untuk tidak menghargaimu. Aku harap kamu bisa menerima apa yang telah ku utarakan.Untuk perkara bagaimana perasaanku padamu, aku rasa tidak perlu ku beri tahu, suatu saat nanti kamu akan mengerti”.
 

“Aku sangat mengertimu Ri.Jika kita memang berjodoh maka tidak ada halangan yang tidak bisa dikalahkan”.Ujar Rano menjawab.
“Akan ku jaga hati ini dari sakit yang tak beralasan. Dari kebahagiaan yang tak berarah, dan dari harapan yang akan menghancurkan jiwa. Akan ku jaga hati ini untuk seseorang yang nantinya akan menanggung seluruh hidup dan matiku. Aku harap kamu dapat menyimpulkan bagaimana perasaanku padamu, dari kata-kataku ini”.
“Pasti”.Dengan mantap menjawab.
Maria dihampiri keraguan yang membuatnya semakin asyik dalam kesendirian.
            Selang beberapa tahun setelah Maria dan Rano sama-sama menempuh kuliah di universitas yang berbeda, kini pun berbuntut dengan konfirmasi peristiwa awal.Pada suatu kesempatan mereka dipertemukan kembali dalam acara reuni SMP.Rano menghampiri Maria yang tengah duduk sendirian.
“Ri, bagaimana keadaanmu, lama tak jumpa?”
“Alhamdulillah Allah masih memberi ku kehidupan, bagaimana denganmu Ran” jawab Maria.
“Aku sama dengan mu Ri. Bagaimana dengan pernyataanku dulu, masihkah kau ingat?” tanya Rano memperjelas.
“Akan selalu ku ingat hal itu. Harus ku akui, sejak dulu aku sudah membuka hati untukmu, namun aku harus menjaga itu sebelum waktunya datang, karena
penyesalan akan datang di akhir nanti. Dan sekarang aku rasa sudah waktunya kita untuk mulai saling mengenal satu sama lain. Sekarang kita sudah sama-sama mengerti.Bagaimana hal yang seharusnya dilakukan dalam suatu perkara.Meskipun begitu aku membebaskan hatimu untuk mengisi hatiku, tapi tentunya ada batasan”.Balas Maria.
“Kehadiranmu disampingku saat jauh dariku, bukanlah keharusan utama, tetapi yang terpenting adalah kesediaanmu untuk menjaga hatimu untukku”.Balas Rano sambil tersenyum.
“Baiklah kita tunggu saja tanggal mainnya nanti”. Ujar Maria.
“Aku akan selalu siap kapanpun kau mau”.
            Dengan hati lega karena dapat menyelesaikan satu hal dengan indahtanpa harus menyakiti yang lain.Ayah, Ibu, salahkah aku jika harus memutuskan hal seperti ini. Semoga kalian dapat mengerti apa yang aku pilih.Maria pun menceritakan dengan runtut kisahnya pada kedua orang tuanya.
“Maria, jika memang telah tiba saatnya untuk merasakan hal itu, maka lakukanlah.Ayah dan Ibu akan mendukungmu”. Respon Ayah atas pernyataan Maria.
“Ibu juga mendukungmu dengan penuhkepercayaan, jika memang sudah dirasa cukup, teruskanlah Ri”.

 “Terima kasih Ayah, Ibu, aku sangat bersyukur memiliki orang tua seperti Ayah dan Ibu.”.dengan mata berkaca-kaca Maria balas menjawab.
            Maria beranjak ke kamarnya.Dengan hati riang dan wajah cerah Maria mengisi setiap langkah menuju kamarnya dengan senyum.
“Terima kasih Tuhan, Engkau telah memberikan nikmat begitu besar.Tanpa rasa sakit yang Engkau beri, maka jauh dari orang-orang yang salah itu mungkin sulit. Sekarang aku memahami, bahwa dengan selalu sabar menaati dan menjalani setiap ketentuan dari kedua orang tua, pada akhirnya akan menjadikan kenikmatan tersendiri pada setiap ujung ceritanya. Semoga dengan keputusan ini takkan ada hati-hati yang merasa tidak tenang ataupun tersakiti. Derajat kebahagiaan yang tinggi sesungguhnya saat kita melihat orang tua kita meneteskan air matanya bukan karena terluka oleh kita, tapi justru karena kita menjadi alasan kebahagiaan mereka”. Kata Maria yang tengah berbahagia dengan kisah hidupnya.
===== end =====

Popular Posts

Popular Posts