H
|
ari ini kakiku
menginjak tanah yang baru, kumulai hidup ini seorang diri tanpa kedua orang
tua. Kini ku mulai goreskan lagi tinta-tinta di atas kertas yang dulu sudah
pernah terkena coret-coretan kehidupan.
Semenjak
kelulusan SLTP diumumkan, aku di pondokan dan di sekolahkan oleh orang tuaku
seperti kakak-kakakku yang lain, yang setelah lulus SLTP semuanya dipondokan
dan di sekolahkan di kota yang jauh dari tempat tinggal. Akhirnya aku di
pondokan dan di sekolahkan di kota X. Di Pondok tersebut semua santrinya
berstatus mahasiswa, hanya aku dan Satria yang masih duduk dibangku SMA.
“assalamualaikum
Kang” sapa lurah pondok.
“wa’alakumsalam
Kang” jawabku.
“santri
baru ya Kang”
“iya
Kang”
Saat
itu kami bercengkrama ngalor ngidul, sampai-sampai waktu magrib pun
menghentikan cengkrama kami.
****
Mentari
pagi memberi salam lagi, suara burung menyambut bergantinya hari. Ku jalani
semua apa adanya, biarlah waktu bicara pada takdirnya. Hari pertama masuk
sekolah akhirnya telah tiba, aku bersiap-siap untuk pergi ke sekolahku yang
baru. Perasaanku senang karena akan dapat pengalaman baru diKota tetangga,
namun aku juga merasa takut, malu karena tidak mempunyai kenalan sama sekali
disekolah tersebut. Perasaanku bercampur aduk seperti rujak yang dijual dipinggir-pinggir
jalan. Saat pertama kali kakiku melangkah masuk menuju kelasku yang baru, aku
heran anak-anaknya baru ada 13. Aku berpikir dalam hati, “mungkin
anak-anaknya belum sepenuhnya masuk semua,karena ini hari pertama masuk
sekolah”. Hari pertama masuk hanya perkenalan dengan guru-guru dan
siswa-siswi. Aku di kelas anaknya pendiam dan pemalu. Aku hanya berkenalan
dengan teman sebangku.
“Hai
Mas. Namanya siapa?” tanyaku.
“Gista,
Lah kamu namanya siapa?” balik Tanya.
“Andi”
jawabku.
Kami
saling kenal mengenal satu sama lain. Ternyata Gista coret-coretan kehidupannya
lika-liku, banyak yang aku tidak tahu kehidupan di luar sana seperti apa.
Obrolan kita pun berakhir dengan di iringi bel tanda pulang berbunyi, sekarang
pulang gasik karena baru pertama masuk sekolah setelah libur yang panjang.
****
Hari demi hari berganti, namun
bangku-bangku kelas yang kosong masih saja tetap kosong tak ada yang menempati.
Kelas terasa sunyi seperti tak berpenghuni dan tak ada kicauan-kicauan yang
saling mencaci. Tidak seperti hal nya sekolah lain yang banyak penghuninya dan
banyak kicauan-kicauan yang terdengar di mana-mana dari tembok belakang
pembatas sekolah sampai pintu gerbang sekolah. Benar apa kata pepatah, bahwa
rumput tetengga lebih baik dari pada rumput sendiri.
“Tren ke kantin yuk” (Aku di juluki
pesantren oleh teman sekelasku, karena aku satu-satunya anak yang mondok di kelas tersebut) Kata temenku Very.
“Lah nanti kan masih ada pelajaran Matematika Ver”
jawabku.
“Tenang aja bro,gurunya males ga
akan ngajar karena muridnya sedikit”saut Gista.
“Oh
gitu yah, ya udah yuk kekantin” jawabku lagi.
Kami
bertiga pun menuju kantin yang letaknya di pojok tembok pembatas sekolah. Di
kantin yang mungil itu menjual nasi rames dan berbagai macam goreng-gorengan
kesukaanku seperti mendoan, bakwan, pisang dan ubi. Tak kusangka ternyata di
kantin tersebut banyak juga anak kelas XI yang bolos pelajaran. Aku pun sempat
Tanya-tanya sedikit dengan anak kelas XI mengenai sekolah ini.
“Kak njenengan kosong juga apa, ga
ada gurunya?” Tanyaku
“Iya, emangnya kenapa?” Anak kelas
XI balik tanya
“Aku heran aja kak, sekolah ini kok
muridnya sedikit banget ya, gurunya jadi males ngajar”
“Oh, kata anak kelas XII sih disini
sekolahnya sudah terkenal jelek oleh masyarakat sekitar karena banyak Perempuan
pangilan. Jadi muridnya ya kaya gini sedikit”
“oh gitu ya kak”
“iya”.
Aku
berkata dalam hati, apakah aku benar atau salah ya Alloh aku di sekolah yang
seperti ini. Tapi aku yakin suatu saat nanti kau akan menunjukan jalan yang
benar bagi para pencari ilmu , ya Alloh apakah aku mengambil jalan yang
salah, tunjukanlah hambamu ini jalan yang benar.
*****
Berjalan
melangkah bersama dengan niat menuju keridhoan tuhan yang maha esa. Ternyata
semua tak semudah yang kukira, cobaan rintangan selalu menghadang. Ada kala
kita tertawa namun kita juga pernah
resakan duka, hidup memang penuh tanda Tanya. Hari demi hari akhirnya
digantikan dengan bulan, kini tanah tempat kakiku perpijak di kota X ini sudah
bisa dihitung dangan bulan tidak hari lagi. Tak terasa waktu berjalan begitu
cepat, seperti cepatnya kilat yang menyambar gubuk-gubuk di tengah sawah.
Seperti yang saya dengar dalam pengajiannya pak yai, bahwa waktu itu bagaikan
pedang yang apabila kita tidak dapat menggunakannya dengan baik maka pedang tersebut
akan membunuh kita. Aku pun berangkat sekolah seperti biasa. Sesampai di kelas
kami mendapatkan pelajaran kewarganegaraan ( Ppkn). Saat pelajaran sedang
berlangsung, tiba-tiba ada suara salam wali kelas bersama anak cowo berbadan tinggi besar masuk ke kelas. Ternyata anak
tinggi besar ini siswa baru pindahan dari salah satu SMA Banjarnegara. Dia
pun duduk di bangku belakangku. Aku dan
teman-teman berkenalan dengan siswa baru itu.
“Hai bro namanya siapa?”Tanya temen
sebangkunya Fuad
“Didi bro”jawabnya
“Pindah pasti karena kasus di
sekolah ya bro?” saHut Very sambil tertawa kecil
“Iya bro, ngerti aja kamu” jawab
Didi sambil tersenyum
“Pindah kenapa bro”tanyaku
“Biasa lah bro, ngerjain guru dan
berantem denga guru yang so’ soan” sambil tertawa
Hatiku
bertanya-tanya, ya Alloh apakah aku akan tetap kuat di kelilingi teman-teman
yang berperilaku kaya gini, banyak pengalaman mereka yang aku ga sangka-sangka,
karena waktu aku sekolah smp didesaku teman-temanku ga begini-begini banget.
Hamba harus bagaimana ya Alloh, jagalah hamba ya Alloh dan tunjukanlah jalan
yang lurus buat hamba.
****
Aku belum lama berada di sekolah
ini. Pergaulan yang masih terbatas menyebabkan aku hanya mengenal teman-teman
kelasku. Suatu ketika sekolahku
benar-benar senyap, hanya Aku, Didi, dan Dita. Tampaknya guru-guru sedang ada
kepentingan di luar. Sekolah benar-benar tampak sepi. Didi mengajakku dan Dita
ke kelas atas yang kosong. Didi , menyuruhku berjaga di depan kelas. Ia sendiri
di dalam kelas berdua-duaan dengan Dita.
Aku
pun jaga di depan pintu kelas yang kosong itu. Tak kusangka ketika aku melihat
kedalam kelas dengan mata kepalaku, aku baru pertama kali melihat pemandangan
seperti ini. Didi melakukan hal yang tidak wajar, Dia berubah menjadi ular yang
liar, dia mematok-matok wajah Dita sambil sekali-kali mengendus-ngendus di
wajahnya. Lagi-lagi aku tidak tahu sebenarnya kehidupan di luar itu seperti
apa, atau kau hal semacam mengkonsumsi obat kode, tawuran, berantem sama guru,
bahkan yang baru aku lihat sekarang di depan mata kepalaku ular mematok
mangsanya dengan bringas, sudah menjadi kebiasaan anak-anak kota. Apakah kehidupan di luar sana seperti itu?
Aku bertanya-tanya dalam hati.Selama aku hidup di desaku aku tidak
mengalami kejadian seperti itu bersama-sama teman-temanku, apakah aku orang
yang so’alim, atau aku orang kuper yang tidak tahu pergaulan di luar sana. Aku
pun jadi semakin bingung harus bagaimana di kelilingi teman-teman berperilaku
seperti ini. Sejak saat itu aku mantap untuk meninggalkan sekolah ini.
0 Response to "Akhirnya"
Post a Comment